“DR”nya Yance dan Ambruknya
Sistem Pendidikan
Oleh O’ushj.dialambaqa
Penyair,
Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah[PKSPD]
Koran JURNAL PKSPD.Com
Senin.14-05-2005
Artikel ini diambil dari
makalah yang dismpaikan pada Diskusi Panel Terbuka “Revitalisasi Peran
Pendidikan Untuk Menunjang Pembangunan Daerah”, Minggu, 25 April 2010 di Gedung
Dewan Kesenian Indramayu yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) AMIK Purnama Niaga Indramayu.
PENDIDIKAN, begitu kita mendengar kata tersebut, kita langsung saja
tertuju pada apa yang disebut dengan Sekolah, Universitas (Perguruang Tinggi)
dan sejenisnya. Sekolah berarti pendidikan formal yang diselenggarakan
pemerintah maupun swasta dari mulai tingkat pendidikan dasar, menengah dan
pendidikan tinggi. Pendidikan dasar dan menengah, ytaitu SD/MI, SMP/MTs dan
SMA/SMK/MA [Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertma/Madrasah
Tsanawiyah, Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah]
dan Kejar Paket. Pendidikan Tinggi atau Perguruan Tinggi, yaitu
Universitas, Institut dan Sekolah Tinggi. Pendidikan Usia Dini, yaitu TK/RA
(Taman Kanak-kanak/Radhatul Atfal, sebenarnya adalah pra TK/RA, yaitu Taman
Bermain).
Program kejar paket A adalah setara SD, paket B setara SMP dan paket C setara
SMA, serta kejar paket D adalah setara Sarjana (S1), paket E setara
Magister (S2), paket F setara Doktor (S3) dan paket G setara Prof. atau Guru
Besar, tapi sayang pemerintah belum mengambil kebijakan yang blak-blakan dengan
program kejar paket D, E, F dan G ini dan atau belum mengakuinya, padahal
realitas konkretnya ada, berjalan dan diakui keberadaan kelulusannya. Kejar
paket ini dilakukan karena para peserta didik mempunyai kendala waktu yang
dirutinkan dan peserta didik yang putus sekolah karena berbagai sebab, terutama
masalah biaya pendidikan yang tidak terjangkau, mahal, sehingga program
pendidikannya disesuaikan dengan ketersediaan waktu para peserta didik itu sendiri.
Termasuk di sini adalah apa yang disebut dengan SD, SMP, SMA terbuka.
Jenjang berikutnya adalah apa yang disebut dengan Pendidikan Tinggi (Perguruan
Tinggi): Akademi maupun Universitas dan sejenisnya, seperti Universitas,
Institut dan Sekolah Tinggi. Akademi dengan program studi D3, bergelar Sarjana
Muda atau Ahli Madya (AMD) sedangkan Universitas, Institut dan Sekolah Tinggi
dengan program studi S1(Sarjana/Strata-1), S2 (Magister/Strata-2) dan S3
(Doktor/Strata-3), dan sebagai puncak akademik adalah bergelar Profesor atau
Guru Besar.
Semua jenjang pendidikan diselenggarakan oleh sebuah Lembaga Pendidikan, baik
negeri maupun swasta, baik untuk pendidikan dasar maupun menengah. Begitu juga
untuk PT, kita kenal PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dan PTS (Perguruan Tinggi
Swasta).
Sistem pendidikan yang difornmalkan (Negara) itulah yang disebut dengan Sekolah
dan Perguruan Tinggi, yang dikemudian hari, setelah dianggap selesai mengikuti
proses belajar mengajar berjenjang sesuai dengan ketentuan , standar dan
kurikulum nasional pada semua tingkatan pendidikan tersebut diberikan
legitimasi, pengakuan dari hasil proses belajar, dan dengan pengakuan itu
diterbitkan apa yang disebut dengan “Ijazah”.
Pendidikan Dasar-Menegah: dari kurikulum ke kurikulum
Pendidikan, di mana sistem politik dan kekuasaan kehilangan kompasnya, disadari
atau tidak, merupakan sasaran empuk sebagai kelinci percobaan. Pendidikan dasar
dan menengah menjadi tumbal kelinci percobaan yang tak pernah dituntaskan,
sehingga dari kurikulum ke kurikulum begitu cepat berganti. Sementara di satu
sisi, para guru belum optimal bahkan masih banyak yang tidak cukup memahami
terhadap arah dan apa yang sesungguhnya yang diinginkan kurikulum itu sendiri.
Di sisi lainnya, sistem politik (baca: para penguasa) mempenetrasi sistem
pendidikan untuk memenuhi hasrat dan kepentingan politiknya.
Dalam era otonomi, kita diperkenalkan
dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
lalu, lantas KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP akhirnya menjadi Kurikulum Terserah Saja Pengajar. Dari
kurikulum ke kurikulum, makin simple dan praktis secara materi, yang kemudian
siswa dipandu dengan paket buku lebih praktis lagi yaitu LKS (Lembar Kerja
Siswa).
Bila kita simak, siswa tidak bisa berharap banyak dari bahan ajar kurikulum
tersebut. Apabila siswa hendak melakukan penjelajahan materi (baca:
pengetahuan), maka, mau tidak mau, siswa harus ekstra buku-buku pendamping
lainnya. Apabila dilihat dari materi bahan ajar, penjelajahan pengetahuan lebih
pada pengandalan peran dan fungsi guru sebagai pendidik, sekalipun siswa
dipompa untuk lebih aktif atau berinisiatif, tetapi
ternyata realitasnya terbalik, karena materi yang tersedia
sebagai proses belajar dan pembelajaran amatlah simple dan praktis yang
disuguhkan bahan ajar dalam paket buku per semeseternya. Tujuan kompetensi dan
basis kompetensinya menjadi kehilangan akar pijak untuk menentukan
arah kemana. Belum lagi ditambah kemampuan para gurunya yang
pas-pasan (baca: di bawah standar penghetahuan dan intelektualitas).
Pendidikan sebagai kelinci percobaan yang terus menerus, juga terlihat gonta
gantinya sebutan SLTP menjadi SMP, SLTA: SMA menjadi SMU dan balik lagi ke SMA.
Begitu juga dengan SMK. Bila SMK tersebut merupakan sekolah kejuruan, harusnya
mengidentifikasi kejuruannya. Sekarang yang terjadi ada SMK-Kelautan, tapi di
sisi lainnya hanya SMK saja, padahal ada jurusan ekonomi, sekretaris, niaga dan
seterusnya. Kelinci percobaan tidak hanya menimpa pendidikan menengah,
pendidikan tinggi pun demikian. IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan)
diganti nama dengan UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) IAIN (Institut Agama
Islam Negeri) menjadi STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), begitu
juga IAIN mrnjadi UIN (Universitas Islam Negeri). Program studinya ya itu-itu juga dan ya
begitu-begitu juga.
Fenomena tersebut merupakan cermin kekacaubalauan struktur berpikir atau
kekeliruan berpikir terstruktur. Tetapi fenomena ini tidak berdiri sendiri,
sistem politik, politik mereduksi pendidikan, sehingga system pendidikan menjadi
sebuah produk politik pada masanya. Pendidikan tidak menjadi an sich.
Pendidikan menjadi terintervensi berbagai kepentingan. distorsinya tinggi dan
makin menguat.
Pada sisi lain, guru menjadi sebuah persoalan dan masalah yang tak terselesaikan.
Banyak para guru yang sesungguhnya bukanlah seorang guru (baca: pendidik).
Menjadi seorang guru bukanlah karena panggilan nuraninya. Tapi ia menjadi
seorang guru karena sebuah tuntutan untuk memenuhi kebutuhan akan kehidupannya.
Sehingga, seharusnya seorang pengajar mendidik dengan mengajar dan mengajar
dengan mendidik. Seorang pelajar dididik dengan diajar dan diajar dengan
dididik (J.Drost, SJ: 2005:55) merupakan air yang jauh dari sumber mata airnya.
Latar belakang internal ini memainkan peranan besar terhadap kekacauan sistem
pendidikan kita, disamping masalah eksternalisasi, seperti sarana dan prasarana
pendidikan dalam proses belajar mengajar dan pembelajaran. Padahal anggaran
Dinas Pendidikan, baik yang berasal dari APBD maupun APBD I dan APBN banyak
berhamburan, di mana kegiatan dan programnya kadang sama sekali tidak mempunyai
korelasi dan penguatan terhadap eksistensi pendidikan dalam hal mutu
pendidikan, seperti dalam APBD kita, ada anggaran kegiatan program Grand
School, Green School, sekolah Berbudaya Lingkungan, sistem Manajemen Berbasis
Sekolah, Sistem Manajemen Berbasis Keunggulan, Usia Dini, PKH [Pendidikan
Keluarga Harapan] dst.
Ekseternalisasi berkutnya adalah sistem “sertifikasi guru” yang pada kenyataannya
telah keluar dari akar dan pohon masalahnya. Sertifikasi guru seharusnya
menjadi instrument penguatan terhadap kualitas pendidikan dan kendali
pendidikan, ternyata jatuh pada sebuah sistem formalistik belaka untuk
kepentingan ekonomi. Hampir tidak ada signifikasinya terhadap tujuan kompetensi
dan mutu pendidikan, karena pada kenyataannya pula semua guru pada akhirnya
telah mendapatkan sertifikasi.
Eksternalisasi tahap berikutnya yang menyebabkan ambruknya sistem pendidikan
adalah sistem “akreditasi”. Yang pada akhirnya, semua sekolah menjadi
terakreditasi. Karena, system akreditasi memberikan ruang untuk mengalirnya
anggaran dari APBD maupun APBN untuk penilaian pendidikan dasar, menengah dan
perguruan tinggi. Yang kemudian disusul dengan kegiatan, pembinaan, monitoring
dan evaluasi dan atau registrasi akreditasi dalam jangka waktu tertentu, yang
semuanya menelan anggaran yang tidak kecil.
Kejar Paket dan Kejar Kejaran
Pendidikan sebagai kelinci percobaan sebagai sebab akibat system politik yang
beridiologi “hasrat kehendak berkuasa” tidak melulu pada jalur formal. Pada PLS
[Pendidikan Luar Sekolah] pun dilakukan. Sebelum tahun 2000, ada program UPER
(Ujian Persamaan) untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kemudian
mulai tahun 2000/2001 Uper diganti kejar paket A, B dan C.
Produk dari ijazah kejar paket ini, derajatnya sama dan sebangun dengan sekolah
untuk semua jenjang pendidikan mulai dari SD/MI, SMP/MTS dan SMA/SMK/MA. Sama-sama
bisa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya hingga sampai perguruan
tinggi dan sama-sama bisa memenuhi persyaratan untuk menjadi PNS (Pegawai
Negeri Sipil). Dari kejar paket kemudian bisa menjadi S1, S2 dan S3. Dari kejar
paket bisa menjadi kepala (SKPD), Bupati, Gubernur, dan Presiden. Tanpa perlu
sekolah selama 21 tahun bila dihitung dari SD sampai S3. Dengan kejar paket,
kita hanya butuh dari SD sampai S3 hanya 15 Minggu dan paling lama 21 Minggu.
Misal dengan menyandang gelar DR, SE, MM, MSi atau gelar DR, Spd, MBA, atau DR.
SH, MH dst, bahkan dalam waktu 15 Minggu bisa menyandang delapan gelar seperti
DR, SE, SH, MH, MPd, MM, MBA, MSI.
Derajat yang sama dan sebangun inilah yang merupakan kekeliruan berfikir dan
atau kesalahan berfikir terstruktur dan sistemik. Mengabaikan substansi
filosopis. Yang menjadi pradigma dan mindset adalah persoalan esensinya untuk
mengangkat derajat social, yang waktu itu porsinya untuk penyesuaian golongan
dan tingkat kesejahteraan pada PNS.
Yang kemudian, menjadi malapetaka terhadap persoalan pendidikan adalah yang
menyangkut derajat berbangsa, bernegara dan berdaulat dalam menyelamatkan masa
depan kolektivitas yang bernama bangsa dan Negara. Menjadi sangat tidak bisa
kita bayangkan, dalam kenyataanya, bahwa out come dari produk kejar paket dari
mulai A, B, C, S1, dan S2 kemudian menempati posisi strategis sebagai desesion
maker dalam penyelenggaraan pemerintah dan menjadi pejabat Negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika kejar paket itu dasar filosofinya juga untuk mencetak produk pengambil
kebijakan dan atau keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka
seharusnya system pendidikannya sama dengan sekolah formal. Yang membedakan
adalah soal fleksibilitas waktu yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta
didik. Jika kemudian produk kejar paket dengan dasar filosofis adalah untuk
kepentingan pembekalan pengetahuan yang bersifat keahlian agar bisa hidup
mandiri dan siap pakai dalam hal pekerjaan, maka produk kejar paket ini tidak
bisa melanjutkan ke jenjang “pendidikan tinggi” (Perguruan Tinggi). Jadi harus
ada dua model dan atau dua kurikulum dengan porsi yang berbeda.
Malapetaka pendidikan kejar paket ini dalam kenyataannya dibanyak daerah,
terutama di Indramayu. Kejar paket cukup ditempuh selama seminggu, yaitu
mendaftarkan diri sebagai peserta ujian, kemudian ikut ujian, dan kadang ujian
pun cukup hanya 3 hari, yang penting bayar saat mendaftarkan diri dan bayar
lagi pada saat mengambil ijazah kejar paket, semuanya dijamin lulus dan bisa
melanjutkan ke jenjang berikutnya, tanpa dibatasi oleh usia. Sehingga, kadang
menjadi amat menggelikan, jika usia 50 tahun, ijazah kejar paket C tahun 2007
kemudian ia menyandang gelar S1 dan S2 pada tahun 2009. Kejar paket
kejar-kejaran.
Sekolah Unggulan, SSN dan SBI
Kelinci percobaan terhadap pendidikan yang paling menggiurkan adalah program
sekolah yang dikoordinasikan di bawah tanggungjawab Ditjen Pendidikan
Kementrian Pendidikan Nasional dengan apa yang disebut SSN (Sekolah Standar
Nasional) dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). Sebelum ke SSN dan SBI
harus melalui apa yang disebut dengan Sekolah Rintisan, sehingga dari sekolah
biasa lalu menjadi Rintisan Sekolah Bersandar Nasional (RSNN), begitu juga
untuk SBI harus melalui RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional).
Semua sekolah berlomba menuju srtifikasi RSNN ke SNN dan RSBI ke SBI. Sekolah
yang berlabel RSNN, SNN, RSBI dan SBI mendapatkan keistimewaan APBD, termasuk
Sekolah Unggulan. Dengan 3 (tiga) model sekolah ini, pada realitasnya
penyelenggara pendidikan seolah-olah pemerintah melepaskan tanggungjawabnya,
sehingga menjadi sekolah yang amat mahal; anak yang cerdas dalam kondisi
perekonomian yang pas-pasan tidak bisa masuk dalam sekolah ini.
Pendidikan yang seharusnya merupakan yurisdiksi Negara, ternyata melepaskan
tanggungjawabnya. Wajardikdas 9 tahun hingga 12 tahun akhirnya menjadi
tanggungjawab bersama masayarakat [baca: orang tua siswa] untuk beban
operasional sekolah, bahkan dalam kenyataannya pula, pemerintah, dalam hal ini
Pemkab. Indramayu melepaskan tanggungjawabnya, sehingga pada akhirnya menjadi
tanggungjawab wali murid. Alibi yang dipakai adalah Bab XV Peran serta
Masyarakat Dalam Pendidikan, yaitu pasal 54 UU No. 20/2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, di mana pasal ini merontokkan semua tanggungjawab Negara
dalam hal ini.
Dualisme sikap pemerintah mengenai tanggungjawab penyelenggaraan
pendidikan dalam hal beban operasional sekolah dalam proses belajar
mengajar, ditangkap dan dikejar secara cerdik dan licin oleh para penyelenggara
pendidikan, sehingga operasional pendidikan menjadi tanggungjawab para orang
tua siswa. Dengan demikian berakibat terjadinya “kapitalisasi pendidikan” yang
tak terbantahkan. Bahkan, sikap mendua tersebut juga kemudian dimanfaatkan
tafsir kepentingannya oleh semua sekolah, sehingga banyak sekolah-sekolah
dengan berbagai terminologi pungutan yang secara linguistik teramat santun dan
agamis tetapi sekaligus menunjukan ironisme dan kerancuan, seperti try out,
pengayaan, infaq, zakat, qurban, studi banding [baca: piknik atau wisata], olah
raga renang, iuran orang tua tahunan, uang pembangunan [gedung], dana sumbangan
pendidikan (DSP) bulanan atau tahunan, iuran pendidikan, sumbangan pendidikan
unggulan dst. Dana BOS [Bantuan Operasional Sekolah] yang berasal dari APBN dan
dana APBD untuk sektor pendidikan atau sekolah-sekolah menjadi tafsir lain
dalam pendidikan.
Resiko dari sebuah konsekuensi kebijakan dari tafsir kepentingan akan pemaknaan
realitas, menjadikan anak-anak yang berpotensi cerdas dan atau anak-anak pandai
tersingkir dari sekolah-sekolah yang “dianggap” bermutu atau sekolah negeri.
Anggapan sekolah bermutu itu seperti yang berstatus RSNN, SNN, SRBI, SBI dan
Sekolah Unggulan. Diperparah dengan kekeliruan berfikir dan atau kesalahan
berfikir, bahwa sekolah dengan biaya “mahal” adalah sekolah yang bermutu.
Padahal, sekolah yang bermutu tidak selamanya berbanding lurus dengan biaya
tinggi (baca: DSP yang mahal). Sekolah yang bermutu adalah sekolah yang berbanding
lurus dengan kualitas pendidiknya dan manajemen pendidikannya, disamping
potensi anak-anak didiknya.
Pasal 54 UU No. 20/2003 sesungguhnya adalah jika Pemerintah tidak mampu
mengalokasikan dana untuk pendidikan yang nomenklaturnya berada di Dinas
Pendidikan, karena dalam kenyataannya tidak semua daerah memiliki potensi
sumber daya alam atau APBD yang cukup. Oleh karena itu, tidak ada alibi yang
bisa dipertanggungjawabkan, jika kita kemudian mengatakan, bahwa APBD kita
tidak cukup merealisasikan anggaran ke Dinas Pendidikan. Karena bila kita
cerdasi apa yang ada dalam APBD sebagai kebijakan umum dan arah pembangunan,
menunjukkan gambar tanpa arah dan dunia tanpa peta. Tidak mencerminkan anggaran
yang efektif dan efisien. APBD sengaja diparsialkan dalam program pembangunan.
Sungguh banyak pos-pos yang lebih bersifat politis dengan anggaran yang
berhamburan, yang apabila kita mempunyai political will, mempunyai nirani yang
cukup mengenai rasio efektivitas dan efisiensi anggaran, maka hal ini tidak
akan meng-ada.
Pasal 54 UU No. 20/2003 menjadi landasan legalisasi atau legitimasi
sekolah-sekolah untuk melakukan kebohongan, pembodohan, eksploitasi dan
praktek-praktis pemerasan atas nama (mutu) pendidikan, terutama sekolah-sekolah
yang berlabel. Para orang tua siswa berlutu tak berdaya berhadapan dengan
kapitalisasi pendidikan, lebih-lebih sekolah selalu mengeluarkan surat
keputusan yang dilegitimasi oleh Komite Sekolah/Dewan Sekolah yang katanya
sebagai representasi dari (manipulatif) nurani dan suara bulat para orang tua
siswa.
Keberadaan SSN menjadi sangat ironias dan fantastik dalam sistem pendidikan
nasional kita. Dalam UU Sisdiknas, semua sekolah harus berstandar
nasional, mulai dari kurikulum, bahan ajar [buku-buku teks pelajaran], para
guru, mutu ujian dan soal ujian. Dalam Permendiknas No. 2/2008
Tentang Buku, dikatakan mulai dari pendidikan dasar, menengah sampai pendidikan
tinggi disusun berdasarkan standar nasional pendidikan (psl 13). Standar nasional
pendidikan adalah criteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah
hukum NKRI (PP No. 19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan).
Maka, tidak dibenarkan bila ada sekolah yang tidak berstandar nasional
pendidikan. Dengan perkataan lain, semua sekolah harus SSN [Sekolah Standar
Nasional]. Status atau label SSN adalah milik semua sekolah, bukan milik
sekolah tertentu seperti yang terjadi kini. Kerancuan sistem pendidikan kita
adalah ada sekolah (di setiap daerah hanya ada segelintir) yang label SSN dan
yang lainnya dikatakan sekolah yang belum atau tidak SSN. Celakanya adalah
ketika Ujian Nsional (UN), sekolah yang berstatus SSN dan yang tidak SSN sama
saja. Materi UNnya sama saja dengan sekolah yang berada dipedalaman, seperti di
Timika Papua dst.
Lebih celaka lagi adalah sekolah-sekolah yang menyandang RSBI dan SBI pun UNnya
sama pula dengan sekolah yang ada di pedalaman Timika penduduknya masih
berkoteka. Lantas apanya yang RSBI dan SBI jika kurikulum, bahan ajar,
buku-buku pelajaran, materi ujian dan para gurunya adalah berstandar nasional.
Kurikulumnya KTSP, buku teksnya sebagai bahan ajar terbitan Pusat Perbukuan
Depdiknas, Panca Karya, Erlangga, Harapan Baru, Esis, Phibeta, Wydia Utama
dst. Guru-gurunya adalah standar sertifikasi Depdiknas. Bukankah RSBI dan
SBI, baik kurikulum, bahan ajar, materi soal ujian dan guru-gurunya harus
mengacu pada standar pilihan pada sekolah-sekolah di Negara-negara maju, yang
secara kualitas diakui internasional dan bisa dipertanggungjawabkan secara
internasional dengan pengukuran standar internasional yang diakui dunia. Acuan
tersebut, apakah berafiliasi dengan sekolah-sekolah yang ada di Jerman,
Perancis, Amerika, Inggris, Belanda atau Singapura dst. Karena, bila hanya manajemen
mutu, ISO saja pada realitasnya kini bisa dibeli untuk mendapatkannya, sama
halnya dengan label Adipura menjadi Adi-pura-pura.
Kepiluan lainnya, bail yang sekolah RSSN, SSN, RSBI, SBI dan Sekolah Unggulan
[dan kini ada sekolah dasar menengah yang membuka kelas Ekselerasi, dari
seharusnya 3 tahun menjadi 2 tahun bahkan mungkin menjadi 1 tahun atau 6 bulan
saja] dan sekolah yang sama sekali tidak berlabel, dalam proses belajar
mengajar untuk menyelesaikan materi sesuai dengan kurikulum saja tidak
tercapai, apalagi untuk penjelajahan pengetahuan yang melampaui system
kurikulum Sisdiknas, sehingga hamper semua sekolah menempuh jalan yang sama,
yaitu “pengayaan”. Sekolah-sekolah yang menerapkan sistem pengayaan untuk lolos
dari lubang jarum UN menjadi beban biaya yang harus dipikul para orang tua
siswa yang cukup mahal pula. Padahal, ini merupakan kesalahannya adalah pada
sekolah-guru-guru itu sendiri. Seharusnnya menjadi beban dan tanggungjawab
penuh sekolah [guru-guru] itu sendiri.
Kualitas siawa sekolah, ternyata juga adalah factor eksternal. Berdasarkan
fakta statistic, anak-anak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau
Favorit adalah siswa-siswa yang ikut Bimbingan Belajar [Bimbel] di luar tembok
sekolah. Bimbel-bimbel yang bermutu, di mana ukuran mutunya adalah banyaknya
siswa yang diterima di PTN adalah penuh sesak dan antrian untuk bisa masuk
Bimbel lembaga yang bersangkutan. Fakta dan data tersebut menunjukkan, bahwa
mutu pendidikan berharap pada sekolah atau factor internal adalah merupakan berumah
di atas angin.
Fakta lainnya, siswa yang lahir dari ekonomi lemah, sekalipun potensi
kecerdasannya melebihi yang lain, realitasnya tidak bisa masuk dalam lingkaran
pendidikan maupun pada sekolah yang dianggap RSSN, RSBI, SBI dan Unggulan,
terkecuali berharap pada program beasiswa atau membuat Kartu Tidak Mampu
[Miskin] yang berpotensi menjadi gangguan psikologis anak dan keluarga orang
tua siswa dari status sosial dalam kehidupannya.
Adanya program beasiswa Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden menunjukkan
bahwa pemerintah menjadi kacau balau dan melepas tanggungjawabnya dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan, apalagi digembar-gemborkan wajardikdas atau
eajardiknas 9 tahun – 12 tahun. Konsekuensi dari wajib belajar 12 tahun,
seharusnya tidak ada lagi kata beasiswa, karena semua itu sudah merupakan
kewajiban dan tanggungjawab penuh pemerintah dalam hal pendidikan dasar dan
menengah. Kebijakan program beasiswa [bila ada] adalah merupakan
politisasi pencitraan. Ini adalah kemunafikan pendidikan dan dosa pendidikan,
terlebih akses untuk memperoleh beasiswa tidak semua pihak bisa.
Kelas Ekselarasi
Kita memang cerdas untuk mengkloning pendidikan, kelinci percobaan terhadap
sistem dan pendidikan formal tak henti-hentinya lahir makhluk baru dalam dunia
pendidikan kita. Mkhluk baru tersebut bernama Sekolah Kelas Ekselerasi atau
dengan perkataan lain percepatan sekolah dan atau percepatan kelas. Yang semulauntuk
pendidikan dasar pada tingkat SMP lamanya proses belajar mengajar tersebut 3
(tiga) tahun kini bisa diselesaikan menjadi 2 (dua) tahun saja, bahkan
dikemudian hari bisa lebih singkat lagi menjadi 1 (satu) tahun atau 1,5 tahun
saja. Entah apakah makhluk baru tersebut berasal dari penelitian panjang dalam
dunia pendidikan di kita yang dilakukan para Profesor Doktor di Kementrian
Pendidikan negeri ini, ataukah hanya sekedar proyek politik dari para pelacur
akademik. Hingga kini, publik tidak pernah membaca dan atau tidak pernah
Kementrian Pendidikan menjelaskan lahirnya makhluk baru tersebut secara ilmiah
dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Realitas di lapangan, sejak dibukanya Sekolah Kelas Ekselerasi tahu ajaran
2010/2011, Kelas Ekselerasi menjadi status sosial yang bergengsi bagi sekolah
dan para orang tua, sekalipun biaya pendidikannya berkelipatan dari sekolah
yang bukan ekselerasi. Virus kebanggaan status sosial tersebut menjalar merata
di setiap Kabupaten atau Kota, sehingga di setiap Kabupaten atau Kota Sekolah
Kelas Ekselerasi meng-ada, seperti Indramayu, SMPN Unggulan Sindang memiliki
Kelas Ekserelasi.
Apakah anak-anak siswa yang di Kelas Ekselerasi tersebut jauh lebih cerdas
ketimbang anak-anak di luar Kelas Ekselerasi? Sampai sekarang belum ada yang
berani bertanggungjawab secara ilmiah dan rasional, baik itu sekolahnya sendiri
maupun Disdik, Dirjen Diknas maupun Mendiknas.
Jika parameter siswa yang masuk Kelas Ekselerasi tersebut hanya berdasarkan
hasil dari proses belajar mengajar selama ini di sekolah dengan kategori nilai
rata-rata 9 (Sembilan), tanpa dilakukan penilaian terhadap potensi kecerdasan
dengan alat ukur lain, maka Kelas Ekselerasi yang berasal dari kelas biasa,
kemudian setelah satu semester diklasifikasikan untuk menjadi Kelas Ekselerasi,
ini akan menjadi malapetaka pendidikan di negeri ini, dan akan menjadi azab
bagi bangsa ini karena generasi yang akan menjadi pemimpin dan atau yang akan
menjadi teknokrat adalah dari sesuatu yang lahir dari pengkloningan makhluk
klenik. Prestasi belajar dalam masa perkembangan potensi otak, psikologi dan
lain-lainnya akan sangat menentukan pasang surutnya prestasi anak. Belum lagi
kondisi pasang surutnya ekonomi keluarga, bisa menjadi indikator dan varibel
terhadap perkembangan prestasi belajar siswa.
Mulai muncul fenomena kecemasan pada tahun ajaran 2012/2013 bagi para orang tua
yang anak-anaknya kini lulus dari Kelas Ekselerasi, terutama Kelas-Kelas
Ekselerasi yang berada di daerah (bukan Kota Besar), di mana untuk melanjutkan
ke sekolah berikutnya, seperti SMA dan seterusnya, yang mana pada sekolah
tersebut distandarkan nilai NEM minimal, misalnya 38 atau 40. Logika warasnya
dan rasionalisasinya, tentu anak-anak cetakan Kelas Ekselerasi tidak perlu
cemas atau tekut dengan standar minimal NEM tersebut, karena seharusnya cetakan
Kelas Ekselerasi minimal NEMnya 45 atau melampaui batas-batas pertengahan
standar antara minimal dan tertinggi yang diberlakukan sekolah-sekolah menengah
tersebut.
Argumen rasionalisasi dan alasan ilmiahnya adalah karena anak-anak siswa yang
berada di Kelas Ekselerasi adalah anak-anak yang cerdas, dengan kecerdasan yang
terukur, sehingga nilainya harus minimal rata-rata 9 (Sembilan) atau ber-NEM
45. Alasan berikutnya, mutu soal dan soal Ujian Nasionalnya sama dengan siswa
yang berada di pedalam Timika Papua yang masih para orang tuanya berkotega, dan
belum mengenal Bimbel (Bimbingan Belajar) yang kini marak disemua Kabupaten dan
Kota. Alasan berikutnya lagi, kualitas guru, sarana prasarana, seperti sistem
ruang belajar, laboratorium, system praktikum dan sarana penunjang lainnya jauh
lebih hebat karena menggunakan teknologi yang yang canggih dan atau standar
minimal, sehingga siswa-siswa dengan potensi kecerdasan alamiahnya bisa
berkembang dan menjadi kecerdasan tersendiri lintas rata-rata juara umum di
sekolah-sekolah yang tidak berlebel Kelas Ekselerasi dan atau melampui jura
kelas di sekolah yang berlebel RSBI atau SBI.
Perguruan Tinggi dan “DR”nya Yance
Otonomi daerah [otda] ternyata menjadi gelombang kejutan dibanyak daerah dan
dikebnyakan orang, bahkan menjadi petaka, sekalipun sebagian kita terjadinya
daya kejut dan gelombang kejutan bukanlah tidak terbaca menjadi diskursus
tuntutan gelombang perubahan yang menyala-nyala waktu itu. Karena system
sentralisasi telah memasung potensi keberdayaan banyak pihak. Begitu pula
dengan halnya persoalan Perguruan Tinggi (PT).
Di era otda, PT bagaikan cendawan di musim hujan. Setiap daerah
(Kabupaten/Kotamadya) sedikitnya bertengger 3 (tiga) Perguruan Tinggi Swasta
(PTS). Indramayu juga bertengger 13 PTS, 3 diantaranya “Kelas Jauh”, yaitu UPI
(Universitas Putera Indonesia) Cianjur di Ruang Data atau Ruang Dinas Pengairan
Pemkab. Indramayu, STAISA (Sekolah Tinggi Agama Islam Al Ayubi) Jakarta di
Bunderan Kijang Indramayu dan UNMA (Universitas Majalengka) Majalengka di
Saradan – Gabus Wetan Indramayu, dan 1 (satu) PTS yang belum berizin operasional
(baca: illegal), yaitu STIKes Muhammadiyah Jatibarang. PTS yang ada di
Indramayu telah memproduk sarjana puluhan, ratusan bahkan ribuan sarjana dari
berbagai program studi. Bahkan dari produknya pula banyak sudah yang
menjadi Magister dan ada pula yang kini telah Doktor (DR). Kebanyakan dari
produk PTS ini menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Indramayu dan beberapa di
daerah lain, ada yang menempati posisi strategis, seperti Kepala Dinas/Kepala
Kantor, Asda dst. Belum lagi ribuan produk sarjana dari PTN dan PTS yang
bertebaran diberbagai daerah. PTS Kelas Jauh, laris manis seperti gorengan
kacang atau lumpia.
Sebelum 1986/1987, ragam PTS adalah Universitas, Institut dan Sekolah Tinggi
dengan program studi untuk S1, S2 dan S3, dan Akademi. Gelar akademik dari
Universitas/Institut dan Sekolah Tinggi seperti Drs, Dra, Ir, SH dst. Untuk
Akademik adalah Sarjana Muda Lengkap dengan gelar seperti BSc, BA, BAc, SmHk
dst. Sistem pedidikannya adalah Tingkat yaitu Tkt.1 (Tingkat Persiapan), Tkt.2,
Tkt.3, Tkt.4 dan Tkt.5. Izin pendirian PTS di bawah otoritas Kopertis
(Koordinator Perguruan Tinggi Swasta). PTS yang berlabel agama berada di bawah
otoritas Kopertais (Koordinator Peguruan Tinggi Agama Islam Swasta). Gelar yang
dari program studi yang berlabel Islam seperti Shi, SPdI dst. Status PTS
dimuali dari Izin Operasional, Dalam Proses Terdaftar, Terdaftar, Dalam Proses
Diakui, Diakui, Dalam Proses Disamakan dan Disamakan. Yang membedakan status
PTS tersebut adalah ketika Ujian Akhir Negara dan pengakuan legalitas
ijazah nyahnya. Status izin operasional dan Terdaftar, Ujian Negaranya
adalah semua materi [matakuliah] kuliah yang disamakan dengan matakuliah di PTN
diujikan. Statuis Diakui, hanya 5 matakuliah yang diujikan dalam Ujian Negara. Untuk
status Disamakan, semua matakuliah yang diujikan dalam Ujian Negara adalah
semua materi soal dibuat oleh PTS yang bersangkutan. Ujian Negara ini sebagai
prasyarat untuk menempuh siding Skripsi untuk mencapai kesarjanaan. Panitia
Ujian Negara adalah dari PTN. PTS menerbitkan 2 (dua) ijazah, yaitu ijazah
Lokal, yang berarti berasal dari PTS yang bersangkutan dan ijazah Negara yang
ada legalitasnya dari Kopertis atau Kopertais dalam wailayah PTS yang
bersangkutan.
Setiap tahun dilakukan evaluasi mutu dari Kopertis atau Kopertais, sehingga PTS
yang bersangkutan bisa saja mengalami degradasi status, misalnya, dari
Disamakan menjadi Diakui, dari Diakui bisa menjadi Terdaftar, jika tidak
memenuhi standar minimal dari ketentuan yang berlaku. Hasil evaluasi juga bisa
status PTS tersebut meningkat, misalnya, dari status Terdaftar menjadi status
Diakui dst. Standar penilaian yang dipakai terutama adalah hasil kelulusan
mahasiswa PT yang bersangkutan dalam Ujian Negara. Sehingga, mahasiswa yang
diwisuda menjadi Sarjana adalah mahasiswa yang benar-benar seriuas dalam kuliah
dan paling tidak, memiliki kemampuan standar minimal dalam gelar
kesarjanaannya. Ada pertanggungjawaban kesarjanaannya. Produk mutu PT, relatif
bermutu , karena “uang” bukan segala-galanya. Data statistic PT waktu itu,
tidak sedikit mahasiswa yang pulang kampong dengan tangan hampa, gagal menjadi
sarjana. Ijazah Negara dari produk PTS harus dilegitimasi oleh Kopertis atau
Kopertais di masing-masing wilayah dengan tanda tangan dan cap stempel Kopertis
atau Kopertais, begitu juga ketika melegalisir foto copy ijazah.
Pada tahun 19877/1988, sistem PT dirubah, yaitu menggunakan sistem SKS (Sistem
Kredit Semester) dan penyesuaian gelar kesarjanaan sesuai dengan program
studinya, seperti Sarjana Pertanian dengan gelar SP. Sarjana pendidikan yang
semua dengan gelar Drs atau Dra kini menjadi SPd dst. Sarjana agama yang dulu
dengan gelar Drs kini menjadi Sag dst. Sistem yang dipakai bukan lagi
istem Tingkat tapi system semester, yaitu semester 1 s/d semester 9. Status PT
tidak lagi sperti Terdaftar, Diakui dan Disamakan, tapi sudah tak terlihat
lagi, yang ada sekarang status akreditasi, seperti Terakreditasi C, B atau A.
Penilaian akreditasi tidak lagi ditangani oleh Kopertis atau Kopertais tapi
menjadi otoritas penuh dari lembaga yang namanya BAN PT (Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi). Dengan sistem akreditasi ini PT tidak lagi ada
Ujian Negara, semua sudah menjadi otonom dan otoritas penuh PT yang
bersangkutan, sehingga potensi adanya atau terjadi manipulasi atau kecurangan,
seperti jual beli ijazah (baca: tidak pernah kuliah bisa punya ijazah) menjadi
potensial, karena PT yang bersangkutan berhak menerbitkan ijazah.
Ketika otda bergulir, sistem pendidikan mengalami perubahan yang fantastic. UU
No. 2/1989 direvisi dan perubahannya sangat signifikan, yaitu diterbitkannya UU
No. 20/2003 Tentang Sisdiknas. Izin PTS bukan lagi berada di Kopertis atau Kopertais,
melainkan menjadi otoritas dan tanggungjawabnya DIKTI (Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi) Depdiknas, dan PTS yang program studinya agama berada di
tangan Ditjen Pendidikan Agama Islam Depag.
DIKTI dengan Kopertisnya dan Ditjen Pendidikan Agama Islam dengan Kopertaisnya.
Peran dan fungsi dari Kopertis maupun Kopertais adalah sebatas pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. Peran dan fungsi inipun
menjadi amat lemah, sehingga banyak terjadi jual beli skripsi dan ijazah.
Sekarang ada BAN PT yaitu yang mempunyai otoritas penilaian terhadap mutu PT
dengan sistem Akreditasi. Akreditasi sama sekali bukan menyangkut
legalitas atau keabsahan ijazah yang diterbitkan PTS. PTS kini
menyelenggarakan sistem pendidikan tinggi yang otonom, yaitu penilaian
kelulusan setiap tahapan dan tahap akhir sepenuhnya otoritas PT yang
bersangkutan, termasuk menerbitkan ijazah kesarjanaannya, baik yang belum
terakreditasi maupun yang sudah terakreditasi. Produk mutu pendidikan relatif
longgar. JIka dulu yang lulus dan atau yang bisa menjadi sarjana adalah
mahasiswa yang belajar sungguh-sungguh dan menguasai materi perkuliahan,
sekarang menjadi sarjana, magister atau doctor tidak perlu menguasai
matakuliah, semua siap saja. “Uang” yang menentukan. Banyak mahasiswa yang
skripsinya tinggal copy paste, begitu juga untuk S2 dan bahkan S3 semua yang
mengerjakan [yang bisa] orang lain, pokoknya instan dan terima bersih memegang
ijazah Magister atau Doktor. Justru sekarang banyak PT (Dosen) yang menganjurkan
atau menyuruh mahasiswanya terima bersih dan lulus.
Data statistik, terima bersih menjadi sarjana cukup banyak. Makin tahun makin
signifikan kenaikkan statistiknya, tidak hanya pada kesarjanaan S1 tapi S2 dan
S3. Penelitian dan pembuatan tesis atau disertasinya diserahkan orang lain tapi
acapkali hasil sidangnya amat fantastik dengan predikat yudisium suma cumlaude
dst.
Kesarjanaan produk PT Kelas Jauh atau sekedar terdaftar namanya di PT kemudian
menjadi S1, S2 dan S3 cukup membanjir, di mana pT bagaikan cendawan di musim
hujan. Padahal berdasarkan UU Sisdiknas, bahwa ijazah yang diterbitkan dari PT
Kelas Jauh, legalitas ijazahnya “Tidak sah” atau keabsahannya dianggap Tidak
sah dan atau “Tidak Diakui”*1). Bahkan Ketua Kopertais diminta untuk tidak
memberi tanda sah ijazah dimaksud*2). Pelakunya dapat dikenakan pidana
sesuai dengan pasal 67, 68 dan 69 UU No. 20/2003.*3).
Kelas Jauh berbeda dengan pengertian Pendidikan Jarak Jauh seperti yang diatur
oleh psl 31 UU No. 2003 maupun UU No. 2/1989 Tentang Pendidikan Nasional.
Pendidikan jarak jauh yang dimaksud adalah Universitas Terbuka [UT].
Sebagai studi kasus adalah menyoal DR [Doktor]nya Yance [DR. H. Irianto MS
Syafiuddin, SE, MM, MSi] dari UPI [Universitas Pendidikan Indonesia] Bandung
Jabar. Agar konkret dan hadap masalah mengenai ambruknya sistem pendidikan di
republik negeri ini. Yance sebagai pejabat Negara adalah mempunyai otoritas
dalam kebijakan publik. Alasan berikutnya, karena derivate kejahatan mafia
pendidikan ini adalah sistematik dan dampaknya pun menjadi sangat
sistemik. Pertanggungjawaban alasan berikutnya, karena “Yance” adalah figure
pemimpin atau public figure dan kemimpinan dengan jabatan Bupati (Kepala Daerah)
yang memiliki dan mempunyai otoritas SK pengangkatan terhadap PNS, karier PNS
dan kebijakan publik lainnya yang bersifat dan berdampak sistemik. Jika saja
Yance sebagai tukang becak atau pemulung, tidak akan dijadikan studi kasus,
karena tidak akan mempunyai pengaruh kebijakan yang bersifat multiplier effect.
Selama menjadi Bupati [2 periode], puluhan Sarjana Kelas Jauh yang ijazahnya
dianggap tidak sah diterbitkan SK pengangkatan CPNS atau PNSnya.
Pada 22 Nopember 2000,Yance secara resmi mencantumkan biodata pendidikan
terakhirnya S2*4) dan makalahnya [yang ditulis oleh orang lain] pada
Januari 2000 yang berjudul: Pembangunan Ekonomi Kerakyatan di Kab. Indramayu
Berdasarkan UU No. 22/1999, mencantumkan gelar kesarjanaannya dengan Sip
dan MBA. Sebelumnya, dengan gelar BE. Tahun 2001/2002, Yance menambah gelarnya
dengan Doktor [DR]. Semua gelar tersebut kemudian ditanggalkan begitu saja pada
th. 2005an, karena terkuak bahwa gelar Sip dari Universitas Terbukanya
“Aspal”*5).
Pada tah. 2007 terbitlah curriculum vitae: S1 (SE) dari FE UPI (Universitas
Putera Indonesia) Cianjur dari Kerlas Jauh di Ruang Data/Ruang Dinas Pengairan
Pemkab. Indramayu dalam waktu +/- hanya 7 Bulan. Th. 2002, S2 Magister
Management (MM) dari Sekolah Tinggi Manajemen Lobora Jakarta (tahun kelulusan
tidak dicantumkan). S2 (MSi) Magister Ilmu Pemerintahan dari STIAMI Jakarta
(tahun kelulusan tidak dicantumkan). S3 UPI (Universitas Pendidikan Indonesia)
Bandung (tahun kelulusan tidak dicantumkan)*6), tapi publik mendengar dan tahu,
karena Yance pada saat siding Disertasinya di UPI Bandung dikawal dan ditunggui
oleh beberapa Pejabat Penting Negara dari Propinsi dan Indramayu. Yance pun
percaya diri mencantumkan identitas dirinya dengan DR. H. Irianto MS Syafiuddin
dalam artikel yang dimuat Mitra Dialog, Rabu, 10/2/2010 dengan judul:
“Masyarakat Religius Terbentuk”.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka Yance dengan DRnya menjadi
runtuh. Karena, strata S1 (SE) yang diperoleh UPI Cianjur, ternyata
produk Kelas Jauh di mana proses belajar dan mengajarnya di Ruang Data
Pendopo/Ruang Dinas Pengairan Pemkab. Indramayu*7). Oleh karenanya, S2
dari Sekolah Tinggi Manajemen Labora Jakarta dan S2 dari STIAMI Jakaarta dengan
gelar MM dan MSi menjadi gugur dan atau keabasahan ijazahnya adalah “tidak
sah”. Maka, secara otomatis S3 (DR) dari Universitaas Pendidikan
Indonesia (UPI) Bandung pun “tidak Sah” atau ilegal ijazahnya dan atau batal
demi hukum dan bahkan seharusnya dipidana dengan psl 67, 68 dan 69 UU No.
2/1989 jo 20/2003 Tentang Sisdiknas jika para aparat penegak hukum dan lembaga
hukum tidak bobrok dan atau jika UPI Bandung itu memiliki moralitas dan
tanggungjawab intelektual akademik, maka UPI Bandung akan meninjau kembali dan
atau menarik kembali dan atau mencopot dan atau membatalkan pemberian
ijazah dan atau gelar Ke-Doktor-annya Yance tetapi jika UPI Bandung
memposisikan dirinya sebagai tempat pelacuran intelektual*8), maka tidak akan
bergeming dan Yance tetap aman dan nyaman dengan anggapan bahwa untuk mendapatkan
ijazah S1, S2 dan S3 sama halnya dengan membeli cabe di pasar rakyat.
Kesarjanaan Bupati Yance, tentu tidak berdiri sendiri tapi sudah sangat
sistemik dan sistematik. Kejahatan pendidikan dan mafia pendidikan ini akan
terus berlangsung di republik negeri ini. Yanceisme akan makin tumbuh
subur di negeri ini, karena DIKTI maupun Ditjen Pendidikan Agama Islam tidak
mengambil tindakan konkret, padahal mempunyai otoritas terhadap hidup matinya
PT. Jika DIKTI dan Ditjen Pendidikan Agama Islam mengambil keputusan dan
langkah tegas, bahwa PT yang bersangkutan harus membatalkan ijazah yang telah
diterbitkannya, maka kejahatan dan mafia pendidikan tersebut pastilah
lenyap. Tetapi dalam realitasnya, tindakan yang dilakukan oleh kedua institusi
tersebut adalah hanya member penegasan dan pernyataan, bahwa itu Ijazahnya
dianggap tidak sah dan atau tidak diakui. Bukan juga menyerahkannya kepada
pihak Kepolisian untuk menindaklanjuti proses hukumnya.
Persoalan pidananya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
adalah kewenangan Kepolisian untuk memproses secara hukum terhadap pelaku dan
atau pemilik ijazah illegal dan atau aspal atau yang dianggap tidak sah.
Tetapi, seharusnya yang menyangkut keberadaan ijazah, maka DIKTI dan
Ditjen Pendidikan Agama Islam mengharuskan dan atau mewajibkan PT yang
bersangkutan untuk menarik kembali ijazah yang telah diterbitkannya
tersebut, sehingga tidak ada satu PT pun yang berani menerbitkan ijazah,
termasuk pencari atau pemilik ijazah kesarjanaan tersebut. Yang
terjadi sekarang, DIKTI hanya melakukan tindakan penutupan sementara ketika
mendapat tekanan publik terhadap PT yang bersangkutan.
Yang demikian terjadi ketika Dewi Sri Aliningsih dkk (Nurpanca Indah, Indah
Permatasari, Daerih, Eem Muaenah, Ulfiyah, Dian Nita, Dhenok Agustina*8),
dan Nia Purmiati) ijazahnya diterbitkan oleh AKBID Al-Ikhlas Bogor, padahal
yang bersangkutan berasal dari STIKes Muhammadiyah Jatibarang Indramayu
semester V, di mana status PTnya belum berizin atau illegal. Dhenok Agustina,
ijazah D3 Kebidanannya diterbitkan oleh STIKes Cirebon/Poltekes Yapkesbi
Cirebon. DIKTI dan Kopertis Wilayah IV Bandung bukan tidak tahu tetapi sangat
tahu betul, karena DIKTI dan Kopertis Wil IV melakukan teguran, dan bahwa
mahasiswa yang berasal dari PT yang tidak berizin, maka dianggap sama dengan
belum kuliah. Jadi mahasiswa yang bersangkutan harus mengaulang dari semester
awal, tidak bisa potong kompas ke semester VI atau semester berikutnya. Karena
PT yang tidak memiliki izin dilarang menyelenggarakan proses belajar mengajar,
termasuk menerbitkan transkrip bagi mahasiswa yang bersangkutan.
Kasus Dewi Sri Aliningsih dkk atau STIKes Muhammadiyah Jatibarang Indramayu
adalah sistemik dan sistematik, karena Kopertis Wil IV Bandung ikut bermain,
sehingga fungsi pembinaan dan pengawasan tidak berjalan, di mana setiap
semester dan penerimaan mahasiswa baru bagi PTS harus melaporkan keberadaannya.
Dalam hal kasus STIKes Muhammadiyah Jatibarang dan AKBID Al-Ikhlas Bogor, print
out data base Kopertis Wil IV Bandung, tgl. 20/1/2006, jam 14:40:59, Nama PT:
044-128 AKBID Kebidanan/Akademi Keperawatan Al-Ikhlas Bogor, Program Studi:
1-016 Kebidanan, Jenjang: E-D3, asal mahasiswa yang bersangkutan dengan kode: P
2004 888-888, yang berarti asal usul sekolah tidak diketahui. Pada tgl.
23/3/2006, jam 14:06:24, print out data base berubah, yaitu P 2004-043-261,
yang berarti mahasiswa yang bersangkutan berasal dari STIKes YPIB Majalengka.
Padahal STIKes YPIB Majalengka sedang dalam masalah dengan para mahasiswanya
dan sedang dilakukan gugatan (STIKes YPIB Dipolisikan, Radar Cirebon, Kamis,
22/9/2005).
Derivat Kesarjanaan Yance atau DRnya Yanceisme menjadi ribuan keberadaannya.
Dewi Sri Aliningsih, AMD Keb. Kemudian menjadi PNS Dinkes Pemkab. Indramayu.
Dhenok Agustina menjadi PNS di Pemkab. Cirebon. Begitu juga puluhan bahkan akan
menjadi ribuan ijazah illegal produk Kelas Jauh tetap bisa menjadi PNS.
Kenyataan tersebut tak terbantahkan, seperti STAISA Jakarta di Bunderan Kijang
Indramayu, UNMA Majalengka di Saradan Gabus Wetan Indramayu, Taman Siswa
Yogyakarta di Cirebon dst juga lolos menjadi PNS, terutama di Indramayu.
Kariernya kemudian bisa menjadi Kepala Dinas (SKPD), Setda, Asda dst. Dan yang menempuh
karier politik bisa menjadi Bupati, Walikota, Gubernur atau Presiden, jika ada
perubahan peraturan perundang-undangan, di mana persyaratannya minimal harus S1
atau S2 dan atau yang derajat.
Lantas siapakah yang duluan menjadi topeng monyet? Yang bersangkutan pemegang
ijazahkah? Perguruan Tinggi yang bersangkutankah? Kopertis/Kopertaiskah?
Dikti/Ditjen Pendidikan Agama Islamkah? Karena dalam peraturan
perundang-undangan para pelakunya dapat dipidana. Jika lempar batu sembunyi
tangan, apa kata dunia? Wooww!
Kaum Yanceisme dan PerPerburuan Gelar
Realitas konkret sebagai fakta dan bukti sejarah ambruknya system pendidikan
kita, terutama di era otda karena ada otoritas penuh pada PT yang bersangkutan
untuk menerbitkan transkrip dan ijazah kesarjanaan, yang kemudian DIKTI,
Kopertis dan Kopertais yang mempunyai otoritas terhadap pengawalan, pembinan
dan pengawasan terhadap keberadaan perguruan tinggi dan mutu pendidikan tinggi
yang sekarang diperkuat dengan adanya lembaga BAN PT ternyata kehadirannya tak
lebih sebagai penonton, bahakn kadang terlibat pula di mana wasit menjadi
pemain. Pagar memakan tanamannya sendiri, atau iklan yang pernah popular
mengatakan jeruk makan jeruk.
Para pemburu gelar pada umumnya adalah para politisi dan PNS. PNS melakukan
perburuan gelar semata-mata untuk kepentingan ekonomi keluarga, yaitu
penyesuaian golongan dan kepangkatan, sehingga mutu tidak sangat penting
baginya, yang penting dapat ijazah, naik pangkat atau golongan untuk karier
PNS. Para politisi juga tidak menganggap penting, apakah gelar sarjananya bisa
dipertanggungjawabkan dalam logika berpikir, dalam struktur berpikir dan atau
kemampuan keilmuannya. Yang menarik juga, perburuan gelar sarjana tersebut
ternyata juga sangat signifikan statistiknya yang berasal dari ijazah Kejar
Paket pada pendidikan dasar dan menengah. Karena, pemerintah (Depdiknas)
mengambil pola kebijakan [bencana] berjenjang, bahwa lulusan program Kejar
Paket bisa melanjutkan kejenjang pendidikan lebih tinggi berikutnya.
Yanceisme ini tumbuh subur di mana-mana, karena perguruan tinggi menjadi tempat
pelacuran intelektual, sehingga transkasional ijazah tanpa melalui proses
belajar mengajar yang tidak sesui ketentuan dan standar ilmiah dalam
kenyataannya sekarang makin terbuka di dunia perguruan tinggi. Di balik ini
semua, bencana besar terhadap bangsa dan Negara menghadang di masa dating.
Karena, apa yang diharapkan dari kaum Yanceisme yang tak terbantahkan keberadaannya
sebagai pemimpin [Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden] yang akan
mengendalikan Negara dan bangsa serta sebagai decision maker terhadap kebijakan
public. Dan apa pula yang diharapkan ketika kaum Yanceisme tersebut menduduki
jabatan strategis dalam pemerintahan untuk mengendalikan dan mengelola jalannya
pemerintahan, sperti Kepala Dinas (SKPD).
Maka, kita bisa lihat kini, gelar kesarjanaan dipanjang sampai 2 meter pada
seseorang, misalnya, DR.H. Monyet Ahmad, BE, Sip, SE, MM, MBA, MSi. DR. Ir. H.
Monyet Nar, SH, SE, SPd, S.Sos, MM, MPd, MSi, MH. Dst. Kaum Yanceisme ini
merasa bangga dengan memajang gelar yang panjang, bahkan muncul percaya diri
luar biasa. Status sosialnya menjadikan dirinya berjalan membusungkan dada.
Tetapi celakanya, ketika diundang di forum ilmiah, biasanya menghindar, dan
bahkan kalaupun hadir, tidak sehebat dengan gelar yang dipajang. Tetapi, di
luar forum ilmiah, biasanya amat berapi-api, seperti dalam pertemuan Ormas, OKP
atau kelompok-kelompok masyarakat akar rumput atau komunitas tertentu.
Oleh karena itu, secara teologis, maka tidak aneh, jika dikemudian hari kita
menerima bencana atau petaka terus menerus. Bencana tersebut tentu resiko yang
terbesar akan menimpa masyarakat karena masyarakatlah yang membuat Yanceisme
tersebut memegang otoritas kekuasaan dalam berbangsa dan bernegara.
Masyarakatlah yang melegitimasi dalam kepemimpinan baik formal maupun non
formal. Masyarakat yang buruk hanya akan melahir pemimpin yang buruk pula. Pemimpin
yang buruk akan tetap menciptakan keburukan dalam kehidupan masyarakat,
sehingga dengan atau di situasui kondisi social yang buruk, para pemimpin
formal maupun yang diformalkan tetap bisa bertahta, aman dan nyaman. Akankah
kita tetap di sini dan berada dalam bagian ini?
Revitalisasi Pendidikan
Revitalisasi pendidikan dari
pendidikan dasar, menengah sampai dengan pendidikan tinggi hanya akan menjadi
keanifan semata, jika para perencana pendididikan terus menerus melakukan
kelinci percobaan yang tidak pernah mau dituntaskan dan atau jika sekedar
proyek ekonomi semata. Jika para guru dan Dosen hanya memuaskan tuntutan
kepuasan yang tak pernah akan terpuaskan dalam hidup. Jika lembaga-lembaga
pendidikan telah menjelma mesin-mesin idiologi materialism semata-mata. Jika
lembaga-lembaga pendidikan, guru, dosen dan penyelenggara pendidikan merupakan
rangkaian mesin-mesin produksi dengan pola konsumsi. Jika pendidikan menafikkan
sateris paribus. Jika pendidikan merupakan bagian dari instrument
politik kekuasaan hasrat kehendak berkuasa. Jika sistem politik dan kekuasaan
mereduksi sistem pendidikan. Jika para pelaku sistem juga tidak mau dengan
praktek-praktek yang sehat, karena sekalipun sistemnya baik juga tidak akan
berarti apa-apa.
Begitu juga, jika para penyelenggara dan atau pengelola pendidikan adalah para
koruptor, mafia, makelar, cukong, preman, pedagang dan atau orang-orang yang
bermental korup atau dagang atau politisi oponturir atau pelacur akademisi,
maka sistem dan pendidikan menjadi ambruk, karena sekolah-sekolah dan
kampus-kampus hanya sebagai tempat transaksional kertas berharga yang bernama
Ijazah, sekolah-sekolah dan kampus-kampus hanya akan mengajarkan hafalan,
angka-angka, rumus-rumus dan teori-teori yang tak perlu dikunyah. Tidak
mengajarkan realitas kehidupan, tidak mengajarkan beribu-ribu dan
berbagai-bagai kemungkinan dari empirik masa lalu menuju masa datang.
Tidak mengajarkan, mengapa, bagaimana, karena apa, sebab apa dst.
Revitalisasi pendidikan akan bisa berjalan, jika semua pihak sungguh-sungguh
mempunyai political will, menganggap bahwa pendidikan itu sebagai fundamental
kehidupan dalam segala sector dan bidang dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa untuk mencapai kuadratika keseimbangan. Lembaga-lembaga pendidikan
harus dikembalikan kepada para ilmuan dan atau intelektual sejati, sehinggu
produk sekolah-sekolah dan PT mampu menjadi tink tank dan mampu menghadirkan pencerahan,
karena pendidikan menjadi tulang punggung masa datang bangsa dan Negara.
Otda di satu sisi, nikmat membawa petaka bagi persoalan pendidikan dan masa
depan bangsa dan Negara. Di mana PT semula menjadi tumpuhan dan barometer, kini
hanya akan melahirkan dunia tanpa peta, dan dunia yang terasing. Semakin
teranglah apabila kita menggunakan pendekatan teori kode dan teori produksi –
tanda [Umberto Eco: A Theory of Semeotic: 1976], di mana paradigma system
pendidikan kita berorientasi “mensarjanakan” masyarakat, sehingga ini
merupakan penandaan bahwa “sarjana menjadi tujuan utama ketimbang
“kesarjanaan” itu sendiri.
Di sini, berlaku absolute hukum produksi dalam teori produksi itu
sendiri, yaitu perguruan tinggi yang penting bisa memproduk gelar sarjana; S1,
S2, S3 dan Profesor dengan menerbitkan “selembar kertas berharga” untuk
memenuhi kebutuhan dan atau permintaan pasar konsumsi, dalam hal ini mahasiswa
(baca: masyarakat) yang membutuhkannya untuk berbagai kepentingan dan atribut
social dalam struktur social masyarakat yang sakit dalam Negara yang dikelola
oleh orang-orang yang sakit (power syndrome) .***
________________
*1)Kopertis Wil. IV Bandung, No. Surat:
2459/004/KL/2005, Perihal: Angkeran ke-7 Klarifikasi Kelas Jauh. Keputusan
Mendiknas No.: 138/D/0/2006 Tentang Penutupan Izin Penyelenggaraan Program
Studi dan Penutupan AKBID AL-Ikhlas Bogor. Kopertis Wil IV Bandung, No. Surat:
0576/004/PP/2006, Perihal: Klarifikasi Ijazah. DIKTI, No. Surat: 3572/D/T/2004,
Perihal: Status STIKes Muhammadiyah Jatibarang Indramayu. Kopertis Wil.
IV, No. Surat: 0993/004/KL/2004, Perihal: Status AKAMIGA Balongan dan STIKes
Muhammadiyah Jatibarang. Kopertis Wil. IV, No. Surat:
0002/004/KM/2006,Periahal Mahasiswa Pindahan dari PTS Yang Belum Berizin.
KepMendiknas No.: 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.
KepDIKTI No.: 374/DIKTI/Kep/1998 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Pengawasan Program
Studi Yang Terakreditasi Untuk Program Sarjana Di Perguruan Tinggi.
*2)Ditjen Pendidikan Agama Islam, No. Surat:
Dj.I/Dt.I.IV/4/PP.01.1/919/2009, Perihal: Legalitas Keabsahan Ijazah Sarjana
Kelas Jauh.
*3)DIKTI, No. Surat: 1663/D2.2/2009, Perihal: Legalitas
Keabsahan Ijazah Sarjanah Kelas Jauh.
*4)Visi, Misi dan Strategi Pembangunan Calon
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Indramayu Periode 2000-2005.
Tertanggal 22 Nopember 2000. Dalam lembar biodatanya mencantumkan pendidikan
terakhir adalah S2. Pembangunan Ekonomi Kerakyatan Di Kab. Indramayu
Berdasarkan UU No. 22/1999. Dalam makalahnya tertulis H. Yance Irianto MS. SY,
Sip, MBA. Makalah setebal 15 halam, Januari 2000.
*5)Pendidikan Nasional Universitas Terbuka, No.
Surat: 1488/J31/LL/2001, Tertanggal 22 Nov. 2001, Hal: Konfirmasih Keabsahan
Ijazah. Isi surat al: Sdr. Irianto Machfud Sidik Syafioeddin dengan ijazah no.
CA001247/198101247 tidak terdaftar sebagai lulusan Program Studi
Administrasi Niaga, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Terbuka.
*6)Brosur yang diterbitkan oleh Gerakan
Masyarakat Peduli Akhlak Mulia. PROFIL TOKOH NASIONAL PENERIMA BINTANG
KETELADANAN AKHLAK MULIA TAHUN 2007, MEMUAT CURICULUM VITAE, Karya Besar,
Motto, Komitmen, Konsistensi dan Penghargaan.
*7)Budiharto, Asmadi dan Ucu Khurnaedin:
membenarkan Kelas Jauh UPI Cianjur Di Ruang Data Pendopo/Ruang Dinas Pengairan,
ke-3nya adalah Dosen UPI Cianjur Ruang Data. Ucu Khurnaedin adalah salah satu
Dosen Penguji Skripsi Yance [Irianto MS Syafiuddin]. Abu Bakar Yusup adalah
salah satu mahasiswa UPI Cianjur Ruang Data, dan membenarkan bahwa UPI Cianjur
membuka Kelas Jauh tempat di Ruang Data Pendopo dan ada 2 kelas. Budiharto, Asmadi,
Ucu Khurnaedin (waktu itu Kepala Dinas PU Pengairan) dan Abu Bakar Yusup
mengatakan, tidak pernah ketemu dalam perkuliahan dengan Yance.
*8)Rektoriat Pasca Sarjana UPI Bandung, Ibu Siti
mengatakan kepada salah satu alumnus UPI UPI Bandung, akan meninjau kembali
pemberian gelar Doktornya kepada Yance, bila terbukti S1 dari UPI Cianjur Kelas
Jauh yang perkuliahannya di Ruang Data Pendopo Pemkab. Indramayu sehubungan
adanya surat dari alumnus UPI Bandung ke Rektor mengenai informasi S1 Yance
yang berasal dari Kelas Jauh UPI Cianjur di Ruang Data Pendopo Indramayu.
*8)AKBID Al-Ikhlas Yayasan Raudhatul
Muta’alimin, Ijazah No. 071/A.09.03/1/2005 a/n. Dewi Sri Aliningsih.STIKes
Muhammadiyah Indramayu: Surat Keterangan No.: 133/Ket/III-3/J/2004; NIM:
0201003, Nama: Dewi Sri Aliningsih, Tingkat/Semester: III/V, Program Sudi: DIII
Kebidanan.
Plagiarisme dan Dosa Pendidikan Kita
Opini: Lerry Umatron
guru SMAK St. Gregorius Reo
Pendidikan
merupakan salah satu unsur penting yang menentukan kualitas keberadaan manusia.
Kualitas kehidupan manusia bisa menemukan titik yang gemilang ketika dicerahi
oleh terang pendidikan. Dalam konteks kehidupan bersama, pendidikan harus selalu
diarahkan demi terwujudnya kesejahteraan bersama. Situasi ini tentu saja
mengandaikan akan pengalaman kesejahteraan yang dialami oleh setiap individu.
Namun idealitas ini terkadang menjadi samar dan agak sulit dibuktikan. Hal ini
mendorong kita untuk mengakui bahwa dunia pendidikan kita masih bergolak dengan
pelbagai persoalan dan kepentingan kontraproduktif yang memandekkan proses
humanisasi.
Akhir-akhir
ini, dunia pendidikan kita dihebohkan oleh kasus seputar plagiasi yang diduga dilakukan
dan dilakukan oleh para calon guru besar. Fenomena ini merupakan badai ganas
yang menimpa dunia pendidikan kita. Sebenarnya persoalan ini bukan hanya duri
yang menggerogoti ranah pendidikan melainkan juga menjadi sebuah problem yang
mempertanyakan kualitas moral kita. Kasus penjiplakan bukan hanya berkaitan
dengan pengabaian atas tuntutan atau peraturan ilmiah akademik tetapi juga
lebih menyentuh wilayah moral mengenai kejujuran dari oknum yang melakukan hal
itu. Kita patut berduka atas dunia pendidikan yang sedang diterpa oleh musibah
yang sangat memalukan ini.
Kamus
Umum Bahasa Indonesia memberikan beberapa uraian turunan mengenai deretan kata
yang berkorelasi dengan praktik plagiasi ini. Pertama, plagiarisme yang dipahami sebagai penjiplakan yang
melanggar hak cipta. Kedua, plagiat
adalah pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya
seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri; masalah menerbitkan karya tulis
orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakkan. Ketiga, plagiator yakni orang yang melakukan penjiplakan. Salah
satu esensi terdalam dari ketiga kata tersebut adalah penyerobotan atau
pencurian hak milik orang lain, dalam hal ini lebih tertuju pada hak milik
intelektual. Maka sangat memuakkan jika
hal ini dilakukan oleh para mahasiswa yang nota bene dimandatkan sebagai
pewaris masa depan bangsa. Lebih menjijikkan lagi jika ’pencurian’ ini
dilakukan oleh para calon GURU BESAR yang adalah figur eksemplaris dari para
mahasiswa masyarakat umum. Kemanakah bangsa ini akan berlabuh? Inilah
kegelisahan yang selalu merundung hati anak bangsa.
Mengganasnya
tragedi ini juga ditegaskan oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam kuliah
umum bertema ”Edupreneuership” di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Beliau menerangkan bahwa penjiplakan bukan hanya dilakukan oleh mahasiswa atau
dosen tetapi juga oleh pejabat publik seperti bupati, wali kota atau kepala
unit pemerintahan lainnya (Kompas, 20 Februari 2010). Pendapat ini bisa
dibenarkan dengan adanya bukti semakin menjauhnya mimpi kesejahteraan dari
kehidupan masyarakat dan maraknya aksi pencurian serta penipuan yang dilakoni
oleh para pejabat publik. Fenomena ini hadir sebagai konsekuensi logis dari
kekeringan kompetensi yang dimiliki oleh para oknum sehingga lebih tergila-gila
pada jalan pintas pemerolehan gelar yang panjang. Inilah situasi paradoks yang
tidak bisa diapkir dalam lingkup kalangan akademisi kita bahwa ’pengetahuan
katak dalam tempurung berusaha diterangkan dalam gelar sepanjang aliran
sungai.’
Pendapat
dari mantan Wapres ini ditekankan kembali oleh Dr. William Chang, seorang pakar
Etika Sosial. Dalam kaitannya dengan kasus penjiplakan, Chang mengatakan bahwa ketidakjujuran
ini sudah holistik, mengakar, merambah keluarga, masyarakat, dunia pendidikan
dan pemerintahan. Ini adalah cerminan dekadensi moral yang sedang melanda
bangsa kita (Kompas, 19 Februari 2010). Berhadapan dengan persoalan ini, kita
harus bisa melihat kembali pendekatan sistem pendidikan (formal) yang sudah
dilakukan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Bidang pendidikan harus
diperhatikan secara khusus karena pendidikan merupakan unsur sentral yang bertugas
untuk meningkatkan kualitas moral dalam berkehidupan. Apa yang terjadi dengan
pendidikan kita?
Adagium Latin: ”Non scholae sed viate discimus”
merupakan adagium klasik yang menyiratkan arah dan tujuan dari pendidikan. Kita
belajar bukan untuk mendapatkan nilai berupa angka-angka yang kadang bersifat
relatif dan subyektif, tetapi kita belajar untuk hidup. Yang utama dalam
kegiatan pendidikan adalah tersalurnya nilai-nilai yang bisa mendukung hidup
manusia. Pertanyaannya adalah sejauhmanakah keseriusan lembaga pendidikan dalam
melahirkan nilai-nilai ini? Kita tidak bisa mengelak bahwa tujuan mulia dari
dunia pendidikan sering dijungkirbalikkan oleh
pihak pemerintah yang menjadikan kurikulum pendidikan sebagai megaproyek
yang menguntungkan. Kurikulum pendidikan akhirannya dijadikan sebagai bola
ping-pong yang digelontorkan ke mana-ke mari tanpa sebuah kepastian. Peserta
didik pun diibaratkan buluh yang selalu digoyangkan oleh angin. Hal ini juga
selalu diiringi dengan tuntutan-tuntutan yang membebankan para orangtua peserta
didik.
Kita juga tidak bisa mengelak realitas
komersialisasi pendidikan di mana instansi pendidikan dijadikan sebagai lahan
penambang keuntungan dari pihak-pihak tertentu. Konkretnya nampak dalam
pembiayaan sekolah yang mahal dan penerimaan peserta didik yang tidak
disesuaikan dengan sarana-prasarana yang disediakan. Pembiayaan yang mahal
memustahilkan orang miskin untuk terlibat dalam proses pendidikan, ibarat
memasukan unta dalam lubang jarum. Belenggu pendidikan yang begitu berat
akhirnya memotivasi orang untuk mengambil ’jalan pintas’ yang kontraproduktif,
baik dalam mendapatkan ijazah maupun dalam memperoleh gelar tertentu.
Selain realitas yang telah
dipaparkan terdahulu, perwujudan nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan juga
dihambat oleh sistem evaluasi yang sentralistik. Sistem evaluasi yang
sentralistik ini menjelma dalam pemutlakan ujian nasional (UN) sebagai standar
kelulusan para peserta didik. Ujian nasional hanya berlandas pada aspek
kognitif, sedangkan aspek psikomotorik dan aspek afektif yang merupakan unsur
integral dalam diri peserta didik tidak mendapat tempat yang lapang. Tidak
mengherankan jika kaum terpelajar kita sangat tertarik dengan aksi tawuran dan
pelbagai tindak vandalisme lainnya. Bahwa aksi tawuran ini juga sudah merambah
dunia pelajar Sekolah Dasar seperti yang pernah dilaporkan oleh sebuah stasiun
televisi, merupakan suatu hal yang patut diterima. Sistem evaluasi yang
sentralistik ini juga sangat jelas menunjukkan pengabaian terhadap unsur proses
dalam ranah pendidikan dengan lebih menekankan hasil yang diperoleh. Sistem
pendidikan yang seperti ini tidak bisa menjamin terwujudnya proses humanisasi
dan justru membentuk pribadi manusia yang sarat dengan orientasi nonproduktif.
Erich Fromm (1900-1980), salah
seorang pemikir inspiratif dan provokatif telah memberikan beberapa pencerahan
penting tentang kehidupan manusia. Kepeduliannya ini salah satunya terungkap
dalam teorinya tentang orientasi-orientasi watak Dalam teorinya ini, ia
mengungkapkan orientasi reseptif dan orientasi eksploitatif sebagai orientasi
nonproduktif dalam diri manusia. Dalam orientasi reseptif, seorang pribadi
manusia akan menganggap hal-hal yang berada di luar dirinya sebagai
satu-satunya hal yang baik. Mereka adalah orang-orang yang selalu bergantung
pada ide-ide dari orang lain dan bukan menjadi pencetus ide. Mereka merasa tidak
berdaya untuk melakukan segala sesuatu tanpa bantuan. Pada akhirnya, pribadi
reseptif akan dilanda ketidakpercayaan diri dan kehilangan sikap kritis. Sistem
evaluasi pendidikan yang sentralistik yang melulu berpatokan pada Ujian
Nasional (UN) akan membentuk pribadi reseptif yang ditandai dengan
ketidakpercayaan diri dan melemahnya sikap kritis dari peserta didik Ketidakpercayaan
diri timbul karena banyaknya porsentase ketidaklulusan pada masa sebelumnya.
Bertolak dari hal ini, maka kita harus mengakui bahwa Ujian Nasional telah
menjadi momok yang menakutkan sehingga para pelajar tidak mendapatkan iklim
yang kondusif dalam belajar. Ketidakpercayaan diri juga timbul karena
keterampilan, daya kreativitas dan perilaku positifnya selama proses pendidikan
tidak menjamin haknya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Kompetensi-kompetensi dasar yang
dimiliki yang sangat krusial dalam kehidupan tidak diakui. Daya kritis melemah
karena situasi yang cenderung mengharuskan seorang pelajar untuk ’menghafal’
guna menyiasati bentuk soal multiple
choice yang kurang memberikan ruang untuk berpikir kritis (critical thinking) dan pemikiran yang
refleksif (reflective thinking). Ia
akhirnya disesatkan dengan menggantungkan hidup pada segala sesuatu yang berada
di luar dirinya. Peserta didik akhirnya teralienasi dari dirinya sendiri.
Orientasi eksploitatif
merupakan kemasan yang lebih beringas dari orientasi reseptif. Pribadi eksploitatif
akan mengambil sesuatu dari orang lain dengan kekerasan dan kelicikan untuk
menjadi miliknya. Berkenaan dengan pemikiran dan pencarian intelektual, mereka
tidak melahirkan ide melainkan mencurinya sambil mengklaim bahwa ide itu adalah
milik mereka sendiri. Pribadi eksploitatif juga biasa disimbolkan dengan the
biting mouth yang kapan saja bisa mengeksploitasi dan memeras orang. Mereka
lebih menikmati barang curian kendatipun mereka dapat memilikinya dengan cara
yang wajar-kleptomaniak. Dalam
tataran ini, kita bisa menyetarakan pribadi eksploitatif dengan plagiator.
Kita semua mengetahui bahwa
kasus plagiasi yang sudah tersingkap dan sedang menghangat saat ini lebih didominasi
oleh kaum akademisi terkhusus para calon guru besar. Ada di antara para calon
guru besar yang ’mencuri’ karya-karya asing dan dijadikan sebagai karya pribadi.
Lebih memilukan lagi bahwa ada di antara oknum tersebut yang memanfaatkan
otoritasnya untuk memperalat mahasiswa
guna melakukan kegiatan penelitian bahkan mengambil oper karya tulis mahasiswa
untuk kepentingannya. Aksi
plagiasi ini juga kerap dilakukan oleh kaum akademisi yang lain (terutama oleh
barisan mahasiswa). Hal ini dibuktikan dengan adanya jasa pembuatan skripsi
(dan karya ilmiah lainnya) yang tetap bertengger sampai saat ini. Mengapa pendidikan kita melahirkan
figur-figur seperti ini? Jawabannya masih senada dengan alasan yang membentuk
pribadi reseptif. Bahwa pendidikan kita kurang memberikan ruang untuk membentuk
kepribadian secara utuh. Urusan kepribadian masih disubordinasikan dari urusan
intelektual. Dalam kondisi seperti ini mencuatlah sindrom megalomania alias ’pantang
tidak disebut hebat’ di mana seorang pribadi mengapkir atau menafikan segala
keterbatasannya. Berkaitan
dengan keterbatasan intelektual, menjadi plagiator menjadi solusi yang bisa
ditempuh. Inilah dosa pendidikan kita yang turut membidani para pecundang
negeri ini.
Plagiarisme diibaratkan dengan
badai yang meluluhlantakkan ketenteraman bangsa ini. Memang benar bahwa aksi plagiasi ini dilakukan
oleh pribadi-pribadi tertentu, namun kita harus mengakui bahwa sistem pendidikan
kitalah yang turut berperan dalam melahirkan figur-figur seperti ini. Penataan
peraturan pendidikan merupakan sebuah kemestian agar realitas komersialisasi
pendidikan bisa diminimalisir atau dihilangkan. Sadar atau tidak,
komersialisasi pendidikan telah mambentuk pribadi-pribadi koruptif yang bisa
melakukan apa saja demi kepuasan dirinya. Kita harus mengakui bahwa sistem
pendidikan kita tidak menjamin terjadinya humanisasi yang utuh karena penekanan
yang tidak seimbang terhadap aspek-aspek yang melingkupi seorang manusia. Adalah
sebuah imperatif yang mendesak agar pendidikan kita menyetarakan penekanan
terhadap aspek-aspek yang membentuk kepribadian seorang individu. Aspek kognitif, aspek psikomotorik dan
aspek afektif harus disetarakan sehingga tidak pantas kalau Ujian Nasional
dijadikan takaran mutlak kelulusan seorang pelajar. Kita juga harus menyadari
bahwa sistem evaluasi sentralistik berupa Ujian Nasional telah melahirkan
ketakutan bagi para pelajar yang turut merampas kebebasannya. Hal ini berangkat
dari pemahaman bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia yang serentak
dicirikan oleh aspek-aspek tersebut dalam iklim kebebasan. Dengan demikian,
dosa pendidikan kita yang telah melahirkan para plagiat bisa ditepikan dari
sejarah bangsa ini.
nah.....ini dia nih.....RUANG KHUSUS bagi para guru yang suka corat-coret, silahkan corat-coret disini aja........hehehehehehe....
BalasHapus