Plagiarisme dan Dosa Pendidikan Kita
Opini Lerry Umatron
Mahasiswa STFK Ledalero
Pendidikan
merupakan salah satu unsur penting yang menentukan kualitas keberadaan manusia.
Kualitas kehidupan manusia bisa menemukan titik yang gemilang ketika dicerahi
oleh terang pendidikan. Dalam konteks kehidupan bersama, pendidikan harus selalu
diarahkan demi terwujudnya kesejahteraan bersama. Situasi ini tentu saja
mengandaikan akan pengalaman kesejahteraan yang dialami oleh setiap individu.
Namun idealitas ini terkadang menjadi samar dan agak sulit dibuktikan. Hal ini
mendorong kita untuk mengakui bahwa dunia pendidikan kita masih bergolak dengan
pelbagai persoalan dan kepentingan kontraproduktif yang memandekkan proses
humanisasi.
Akhir-akhir
ini, dunia pendidikan kita dihebohkan oleh kasus seputar plagiasi yang diduga dilakukan
dan dilakukan oleh para calon guru besar. Fenomena ini merupakan badai ganas
yang menimpa dunia pendidikan kita. Sebenarnya persoalan ini bukan hanya duri
yang menggerogoti ranah pendidikan melainkan juga menjadi sebuah problem yang
mempertanyakan kualitas moral kita. Kasus penjiplakan bukan hanya berkaitan
dengan pengabaian atas tuntutan atau peraturan ilmiah akademik tetapi juga
lebih menyentuh wilayah moral mengenai kejujuran dari oknum yang melakukan hal
itu. Kita patut berduka atas dunia pendidikan yang sedang diterpa oleh musibah
yang sangat memalukan ini.
Kamus
Umum Bahasa Indonesia memberikan beberapa uraian turunan mengenai deretan kata
yang berkorelasi dengan praktik plagiasi ini. Pertama, plagiarisme yang dipahami sebagai penjiplakan yang
melanggar hak cipta. Kedua, plagiat
adalah pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya
seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri; masalah menerbitkan karya tulis
orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakkan. Ketiga, plagiator yakni orang yang melakukan penjiplakan. Salah
satu esensi terdalam dari ketiga kata tersebut adalah penyerobotan atau
pencurian hak milik orang lain, dalam hal ini lebih tertuju pada hak milik
intelektual. Maka sangat memuakkan jika
hal ini dilakukan oleh para mahasiswa yang nota bene dimandatkan sebagai
pewaris masa depan bangsa. Lebih menjijikkan lagi jika ’pencurian’ ini
dilakukan oleh para calon GURU BESAR yang adalah figur eksemplaris dari para
mahasiswa masyarakat umum. Kemanakah bangsa ini akan berlabuh? Inilah
kegelisahan yang selalu merundung hati anak bangsa.
Mengganasnya
tragedi ini juga ditegaskan oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam kuliah
umum bertema ”Edupreneuership” di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Beliau menerangkan bahwa penjiplakan bukan hanya dilakukan oleh mahasiswa atau
dosen tetapi juga oleh pejabat publik seperti bupati, wali kota atau kepala
unit pemerintahan lainnya (Kompas, 20 Februari 2010). Pendapat ini bisa
dibenarkan dengan adanya bukti semakin menjauhnya mimpi kesejahteraan dari
kehidupan masyarakat dan maraknya aksi pencurian serta penipuan yang dilakoni
oleh para pejabat publik. Fenomena ini hadir sebagai konsekuensi logis dari
kekeringan kompetensi yang dimiliki oleh para oknum sehingga lebih tergila-gila
pada jalan pintas pemerolehan gelar yang panjang. Inilah situasi paradoks yang
tidak bisa diapkir dalam lingkup kalangan akademisi kita bahwa ’pengetahuan
katak dalam tempurung berusaha diterangkan dalam gelar sepanjang aliran
sungai.’
Pendapat
dari mantan Wapres ini ditekankan kembali oleh Dr. William Chang, seorang pakar
Etika Sosial. Dalam kaitannya dengan kasus penjiplakan, Chang mengatakan bahwa ketidakjujuran
ini sudah holistik, mengakar, merambah keluarga, masyarakat, dunia pendidikan
dan pemerintahan. Ini adalah cerminan dekadensi moral yang sedang melanda
bangsa kita (Kompas, 19 Februari 2010). Berhadapan dengan persoalan ini, kita
harus bisa melihat kembali pendekatan sistem pendidikan (formal) yang sudah
dilakukan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Bidang pendidikan harus
diperhatikan secara khusus karena pendidikan merupakan unsur sentral yang bertugas
untuk meningkatkan kualitas moral dalam berkehidupan. Apa yang terjadi dengan
pendidikan kita?
Adagium Latin: ”Non scholae sed viate discimus”
merupakan adagium klasik yang menyiratkan arah dan tujuan dari pendidikan. Kita
belajar bukan untuk mendapatkan nilai berupa angka-angka yang kadang bersifat
relatif dan subyektif, tetapi kita belajar untuk hidup. Yang utama dalam
kegiatan pendidikan adalah tersalurnya nilai-nilai yang bisa mendukung hidup
manusia. Pertanyaannya adalah sejauhmanakah keseriusan lembaga pendidikan dalam
melahirkan nilai-nilai ini? Kita tidak bisa mengelak bahwa tujuan mulia dari
dunia pendidikan sering dijungkirbalikkan oleh
pihak pemerintah yang menjadikan kurikulum pendidikan sebagai megaproyek
yang menguntungkan. Kurikulum pendidikan akhirannya dijadikan sebagai bola
ping-pong yang digelontorkan ke mana-ke mari tanpa sebuah kepastian. Peserta
didik pun diibaratkan buluh yang selalu digoyangkan oleh angin. Hal ini juga
selalu diiringi dengan tuntutan-tuntutan yang membebankan para orangtua peserta
didik.
Kita juga tidak bisa mengelak realitas
komersialisasi pendidikan di mana instansi pendidikan dijadikan sebagai lahan
penambang keuntungan dari pihak-pihak tertentu. Konkretnya nampak dalam
pembiayaan sekolah yang mahal dan penerimaan peserta didik yang tidak
disesuaikan dengan sarana-prasarana yang disediakan. Pembiayaan yang mahal
memustahilkan orang miskin untuk terlibat dalam proses pendidikan, ibarat
memasukan unta dalam lubang jarum. Belenggu pendidikan yang begitu berat
akhirnya memotivasi orang untuk mengambil ’jalan pintas’ yang kontraproduktif,
baik dalam mendapatkan ijazah maupun dalam memperoleh gelar tertentu.
Selain realitas yang telah
dipaparkan terdahulu, perwujudan nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan juga
dihambat oleh sistem evaluasi yang sentralistik. Sistem evaluasi yang
sentralistik ini menjelma dalam pemutlakan ujian nasional (UN) sebagai standar
kelulusan para peserta didik. Ujian nasional hanya berlandas pada aspek
kognitif, sedangkan aspek psikomotorik dan aspek afektif yang merupakan unsur
integral dalam diri peserta didik tidak mendapat tempat yang lapang. Tidak
mengherankan jika kaum terpelajar kita sangat tertarik dengan aksi tawuran dan
pelbagai tindak vandalisme lainnya. Bahwa aksi tawuran ini juga sudah merambah
dunia pelajar Sekolah Dasar seperti yang pernah dilaporkan oleh sebuah stasiun
televisi, merupakan suatu hal yang patut diterima. Sistem evaluasi yang
sentralistik ini juga sangat jelas menunjukkan pengabaian terhadap unsur proses
dalam ranah pendidikan dengan lebih menekankan hasil yang diperoleh. Sistem
pendidikan yang seperti ini tidak bisa menjamin terwujudnya proses humanisasi
dan justru membentuk pribadi manusia yang sarat dengan orientasi nonproduktif.
Erich Fromm (1900-1980), salah
seorang pemikir inspiratif dan provokatif telah memberikan beberapa pencerahan
penting tentang kehidupan manusia. Kepeduliannya ini salah satunya terungkap
dalam teorinya tentang orientasi-orientasi watak Dalam teorinya ini, ia
mengungkapkan orientasi reseptif dan orientasi eksploitatif sebagai orientasi
nonproduktif dalam diri manusia. Dalam orientasi reseptif, seorang pribadi
manusia akan menganggap hal-hal yang berada di luar dirinya sebagai
satu-satunya hal yang baik. Mereka adalah orang-orang yang selalu bergantung
pada ide-ide dari orang lain dan bukan menjadi pencetus ide. Mereka merasa tidak
berdaya untuk melakukan segala sesuatu tanpa bantuan. Pada akhirnya, pribadi
reseptif akan dilanda ketidakpercayaan diri dan kehilangan sikap kritis. Sistem
evaluasi pendidikan yang sentralistik yang melulu berpatokan pada Ujian
Nasional (UN) akan membentuk pribadi reseptif yang ditandai dengan
ketidakpercayaan diri dan melemahnya sikap kritis dari peserta didik Ketidakpercayaan
diri timbul karena banyaknya porsentase ketidaklulusan pada masa sebelumnya.
Bertolak dari hal ini, maka kita harus mengakui bahwa Ujian Nasional telah
menjadi momok yang menakutkan sehingga para pelajar tidak mendapatkan iklim
yang kondusif dalam belajar. Ketidakpercayaan diri juga timbul karena
keterampilan, daya kreativitas dan perilaku positifnya selama proses pendidikan
tidak menjamin haknya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Kompetensi-kompetensi dasar yang
dimiliki yang sangat krusial dalam kehidupan tidak diakui. Daya kritis melemah
karena situasi yang cenderung mengharuskan seorang pelajar untuk ’menghafal’
guna menyiasati bentuk soal multiple
choice yang kurang memberikan ruang untuk berpikir kritis (critical thinking) dan pemikiran yang
refleksif (reflective thinking). Ia
akhirnya disesatkan dengan menggantungkan hidup pada segala sesuatu yang berada
di luar dirinya. Peserta didik akhirnya teralienasi dari dirinya sendiri.
baca selengkapnya di ruang guru