PARADIGMA

PENDIDIKAN TIDAK DAPAT BERAKHIR DENGAN SEHELAI KERTAS YANG SELAMA INI KITA TERAPKAN DAN AGUNG-AGUNGKAN. PENDIDIKAN BERLANGSUNG SEUMUR HIDUP

Sabtu, 18 Agustus 2012

Plagiarisme dan Dosa Pendidikan Kita


Plagiarisme dan Dosa Pendidikan Kita
Opini Lerry Umatron
Mahasiswa STFK Ledalero

            Pendidikan merupakan salah satu unsur penting yang menentukan kualitas keberadaan manusia. Kualitas kehidupan manusia bisa menemukan titik yang gemilang ketika dicerahi oleh terang pendidikan. Dalam konteks kehidupan bersama, pendidikan harus selalu diarahkan demi terwujudnya kesejahteraan bersama. Situasi ini tentu saja mengandaikan akan pengalaman kesejahteraan yang dialami oleh setiap individu. Namun idealitas ini terkadang menjadi samar dan agak sulit dibuktikan. Hal ini mendorong kita untuk mengakui bahwa dunia pendidikan kita masih bergolak dengan pelbagai persoalan dan kepentingan kontraproduktif yang memandekkan proses humanisasi.
            Akhir-akhir ini, dunia pendidikan kita dihebohkan oleh kasus seputar plagiasi yang diduga dilakukan dan dilakukan oleh para calon guru besar. Fenomena ini merupakan badai ganas yang menimpa dunia pendidikan kita. Sebenarnya persoalan ini bukan hanya duri yang menggerogoti ranah pendidikan melainkan juga menjadi sebuah problem yang mempertanyakan kualitas moral kita. Kasus penjiplakan bukan hanya berkaitan dengan pengabaian atas tuntutan atau peraturan ilmiah akademik tetapi juga lebih menyentuh wilayah moral mengenai kejujuran dari oknum yang melakukan hal itu. Kita patut berduka atas dunia pendidikan yang sedang diterpa oleh musibah yang sangat memalukan ini.
            Kamus Umum Bahasa Indonesia memberikan beberapa uraian turunan mengenai deretan kata yang berkorelasi dengan praktik plagiasi ini. Pertama, plagiarisme yang dipahami sebagai penjiplakan yang melanggar hak cipta. Kedua, plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri; masalah menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakkan. Ketiga, plagiator yakni orang yang melakukan penjiplakan. Salah satu esensi terdalam dari ketiga kata tersebut adalah penyerobotan atau pencurian hak milik orang lain, dalam hal ini lebih tertuju pada hak milik intelektual.  Maka sangat memuakkan jika hal ini dilakukan oleh para mahasiswa yang nota bene dimandatkan sebagai pewaris masa depan bangsa. Lebih menjijikkan lagi jika ’pencurian’ ini dilakukan oleh para calon GURU BESAR yang adalah figur eksemplaris dari para mahasiswa masyarakat umum. Kemanakah bangsa ini akan berlabuh? Inilah kegelisahan yang selalu merundung hati anak bangsa.
            Mengganasnya tragedi ini juga ditegaskan oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam kuliah umum bertema ”Edupreneuership” di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Beliau menerangkan bahwa penjiplakan bukan hanya dilakukan oleh mahasiswa atau dosen tetapi juga oleh pejabat publik seperti bupati, wali kota atau kepala unit pemerintahan lainnya (Kompas, 20 Februari 2010). Pendapat ini bisa dibenarkan dengan adanya bukti semakin menjauhnya mimpi kesejahteraan dari kehidupan masyarakat dan maraknya aksi pencurian serta penipuan yang dilakoni oleh para pejabat publik. Fenomena ini hadir sebagai konsekuensi logis dari kekeringan kompetensi yang dimiliki oleh para oknum sehingga lebih tergila-gila pada jalan pintas pemerolehan gelar yang panjang. Inilah situasi paradoks yang tidak bisa diapkir dalam lingkup kalangan akademisi kita bahwa ’pengetahuan katak dalam tempurung berusaha diterangkan dalam gelar sepanjang aliran sungai.’ 
            Pendapat dari mantan Wapres ini ditekankan kembali oleh Dr. William Chang, seorang pakar Etika Sosial. Dalam kaitannya dengan kasus penjiplakan, Chang mengatakan bahwa ketidakjujuran ini sudah holistik, mengakar, merambah keluarga, masyarakat, dunia pendidikan dan pemerintahan. Ini adalah cerminan dekadensi moral yang sedang melanda bangsa kita (Kompas, 19 Februari 2010). Berhadapan dengan persoalan ini, kita harus bisa melihat kembali pendekatan sistem pendidikan (formal) yang sudah dilakukan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Bidang pendidikan harus diperhatikan secara khusus karena pendidikan merupakan unsur sentral yang bertugas untuk meningkatkan kualitas moral dalam berkehidupan. Apa yang terjadi dengan pendidikan kita?
Adagium Latin: ”Non scholae sed viate discimus” merupakan adagium klasik yang menyiratkan arah dan tujuan dari pendidikan. Kita belajar bukan untuk mendapatkan nilai berupa angka-angka yang kadang bersifat relatif dan subyektif, tetapi kita belajar untuk hidup. Yang utama dalam kegiatan pendidikan adalah tersalurnya nilai-nilai yang bisa mendukung hidup manusia. Pertanyaannya adalah sejauhmanakah keseriusan lembaga pendidikan dalam melahirkan nilai-nilai ini? Kita tidak bisa mengelak bahwa tujuan mulia dari dunia pendidikan sering dijungkirbalikkan oleh  pihak pemerintah yang menjadikan kurikulum pendidikan sebagai megaproyek yang menguntungkan. Kurikulum pendidikan akhirannya dijadikan sebagai bola ping-pong yang digelontorkan ke mana-ke mari tanpa sebuah kepastian. Peserta didik pun diibaratkan buluh yang selalu digoyangkan oleh angin. Hal ini juga selalu diiringi dengan tuntutan-tuntutan yang membebankan para orangtua peserta didik.
Kita juga tidak bisa mengelak realitas komersialisasi pendidikan di mana instansi pendidikan dijadikan sebagai lahan penambang keuntungan dari pihak-pihak tertentu. Konkretnya nampak dalam pembiayaan sekolah yang mahal dan penerimaan peserta didik yang tidak disesuaikan dengan sarana-prasarana yang disediakan. Pembiayaan yang mahal memustahilkan orang miskin untuk terlibat dalam proses pendidikan, ibarat memasukan unta dalam lubang jarum. Belenggu pendidikan yang begitu berat akhirnya memotivasi orang untuk mengambil ’jalan pintas’ yang kontraproduktif, baik dalam mendapatkan ijazah maupun dalam memperoleh gelar tertentu.
Selain realitas yang telah dipaparkan terdahulu, perwujudan nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan juga dihambat oleh sistem evaluasi yang sentralistik. Sistem evaluasi yang sentralistik ini menjelma dalam pemutlakan ujian nasional (UN) sebagai standar kelulusan para peserta didik. Ujian nasional hanya berlandas pada aspek kognitif, sedangkan aspek psikomotorik dan aspek afektif yang merupakan unsur integral dalam diri peserta didik tidak mendapat tempat yang lapang. Tidak mengherankan jika kaum terpelajar kita sangat tertarik dengan aksi tawuran dan pelbagai tindak vandalisme lainnya. Bahwa aksi tawuran ini juga sudah merambah dunia pelajar Sekolah Dasar seperti yang pernah dilaporkan oleh sebuah stasiun televisi, merupakan suatu hal yang patut diterima. Sistem evaluasi yang sentralistik ini juga sangat jelas menunjukkan pengabaian terhadap unsur proses dalam ranah pendidikan dengan lebih menekankan hasil yang diperoleh. Sistem pendidikan yang seperti ini tidak bisa menjamin terwujudnya proses humanisasi dan justru membentuk pribadi manusia yang sarat dengan orientasi nonproduktif.
Erich Fromm (1900-1980), salah seorang pemikir inspiratif dan provokatif telah memberikan beberapa pencerahan penting tentang kehidupan manusia. Kepeduliannya ini salah satunya terungkap dalam teorinya tentang orientasi-orientasi watak Dalam teorinya ini, ia mengungkapkan orientasi reseptif dan orientasi eksploitatif sebagai orientasi nonproduktif dalam diri manusia. Dalam orientasi reseptif, seorang pribadi manusia akan menganggap hal-hal yang berada di luar dirinya sebagai satu-satunya hal yang baik. Mereka adalah orang-orang yang selalu bergantung pada ide-ide dari orang lain dan bukan menjadi pencetus ide. Mereka merasa tidak berdaya untuk melakukan segala sesuatu tanpa bantuan. Pada akhirnya, pribadi reseptif akan dilanda ketidakpercayaan diri dan kehilangan sikap kritis. Sistem evaluasi pendidikan yang sentralistik yang melulu berpatokan pada Ujian Nasional (UN) akan membentuk pribadi reseptif yang ditandai dengan ketidakpercayaan diri dan melemahnya sikap kritis dari peserta didik Ketidakpercayaan diri timbul karena banyaknya porsentase ketidaklulusan pada masa sebelumnya. Bertolak dari hal ini, maka kita harus mengakui bahwa Ujian Nasional telah menjadi momok yang menakutkan sehingga para pelajar tidak mendapatkan iklim yang kondusif dalam belajar. Ketidakpercayaan diri juga timbul karena keterampilan, daya kreativitas dan perilaku positifnya selama proses pendidikan tidak menjamin haknya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.  Kompetensi-kompetensi dasar yang dimiliki yang sangat krusial dalam kehidupan tidak diakui. Daya kritis melemah karena situasi yang cenderung mengharuskan seorang pelajar untuk ’menghafal’ guna menyiasati bentuk soal multiple choice yang kurang memberikan ruang untuk berpikir kritis (critical thinking) dan pemikiran yang refleksif (reflective thinking). Ia akhirnya disesatkan dengan menggantungkan hidup pada segala sesuatu yang berada di luar dirinya. Peserta didik akhirnya teralienasi dari dirinya sendiri.  
                                       
                                                                                 baca selengkapnya di ruang guru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar